Minggu, 05 Agustus 2012

(C E R P E N) Ulang Tahun Ramadhan

ULANG TAHUN RAMADHAN

Namaku Ramadhan. Aku dilahirkan pada bulan puasa, mendahului adikku, Idul Fitri. Kami dilahirkan oleh kehendak sang Agung. Aku tergolong yang kudus. Karenanya bulan kelahiranku disebut juga suci. Aku diciptakan untuk menyucikan manusia. Untuk tugas itulah sang Agung mengutus aku turun ke dunia.
Umat manusia sangat menyukaiku dan juga adikku. Setiap tahun, saat ulang tahunku, suasana dunia menjadi meriah. Umat manusia merayakan ulang tahunku selama satu bulan penuh. Akan tetapi, sebenarnya mereka merayakan ulang tahunku hanya untuk menyongsong ulang tahun adikku. Ulang tahun adikkulah yang sebenarnya selalu ditunggu-tunggu manusia. Namun biar bagaimanapun, ultahku pun disambut dengan meriah.
Lihatlah letupan bunga api dari petasan atau mercon menghiasi malam di bulan kelahiranku. Meski pemerintah sudah berkali-kali melarangnya, namun masyarakat tetap saja tak peduli. Pedagang terus saja menjualnya, dan orang-orang tetap saja membelinya. Habis, pengen senang sih! Masa’ orang  pengen  senang, dilarang. Lihatlah anak-anak kecil berlari-lari riang sambil membawa kembang api. Mereka sungguh senang. Sungguh gembira. Aku suka melihat raut wajah gembira mereka.
Pernah aku berjalan-jalan di toko kaset. Lantunan lagu indah terdengar. Marhaban, ya ramadhan! Semua toko memperdengarkan lagu-lagu merdu untuk memeriahkan ultahku dan adikku. Di setiap etalase kaca, terpajang banyak kaset dan CD, mengundang orang yang mau merayakan ultah kami, untuk membelinya. Mungkin sudah menjadi syaratnya. Atau untuk dijadikan kado buat kami? Padahal aku tidak membutuhkannya, karena aku diciptakan untuk menyucikan manusia. Sepertinya industri musik sudah memanfaatkan ultahku.
Bukan cuma mereka. Industri pertelevisian, industri pakaian, makanan dan lain-lain juga memanfaatkan ultahku dan adikku. Produk mereka dijadikan isyarat atau kado untuk memeriahkan ultah kami. Umat manusia terpaksa (dipaksa atau memaksakan diri?) membelinya. Mungkin untuk menghibur kami. Padahal aku tidak memerlukannya, karena aku diciptakan untuk menyucikan manusia.
Hati yang suci murnilah syarat untuk datang ke pesta ultahku dan adikku. Itulah kado yang berkenan di hati kami.
♥♥♥
Lho, kenapa kakak kelihatannya murung? Bukankah ini bulan puasa, ulang tahun kakak?” Tegur adikku, saat aku duduk di sebuah taman kota. Sore menjelang magrib. “Seharusnya kakak gembira donk seperti anak-anak itu.”
Idul Fitri menunjuk ke sekelompok anak-anak kecil yang asyik berkejar-kejaran di taman. Mereka kelihatan sangat gembira.
“Lihatlah mereka! Lihat tu anak-anak muda di sana! Perhatikanlah raut wajah mereka! Tak ada satu pun yang terlihat murung. Semuanya gembira dengan ultah kakak. Kok kontras banget dengan wajah kakak?”
“Aku takut dimarah sang Agung.”
Lho, kok?”
“Kau kan tau, aku diciptakan untuk menyucikan manusia. Sang Agung meminta aku turun ke dunia untuk mengajak manusia bertobat, menghindari dosa supaya mereka suci.”
“Lalu?”
“Yang aku lihat memang orang menghindari dosa, tapi membuat dosa baru. Di bulan kelahiranku ini, dalam rangka ultahku dan menyongsong ultahmu, banyak orang berlaku munafik. Orang hanya berpura-pura suci atau menjadi sok suci.
“Artis-artis, yang biasanya selalu mengenakan kaos model tank top yang menampilkan tonjolan payudaranya atau pakaian yang bagian dadanya agak terbuka sehingga memperlihatkan belahan dada dan sedikit tonjolan buah dadanya yang menggiurkan, kini ramai-ramai mengenakan pakai sopan. Aku yakin seratus persen, setelah hari raya ultahku dan ultahmu selesai, mereka akan kembali seperti dulu lagi. “Kesempatan ultahku banyak dimanfaatkan para politikus untuk mengadakan manuver-manuver politik demi kepentingan pribadi dan partainya. Tidakkah kau dengar kemarin di tivi kritikan Samir terhadap anggota dewan yang mengadakan ultahku bersama dengan petinggi Jamseiko. Pada saat sidang tentang masalah Jamseiko, mereka yang ikut buka puasa bersama diam dan malah membela petinggi Jamseiko.”
“Bacalah koran-koran hari ini!” Kuserahkan koran daerah bertaraf nasional kepada Idul Fitri. Koran itu baru kuambil dari rumah saudaraku yang lainnya. Namanya Natal. Dia dilahirkan pada bulan Desember.  Kami sama-sama berasal dari sang Agung dan mempunyai tugas yang kurang lebih sama. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, Natal menyerahkan koran itu kepadaku. Ia berkomentar kalau nasibku sama dengan nasibnya. Apa yang aku rasakan ternyata dirasakan juga oleh Natal setiap kali ultahnya.
Segera Idul Fitri mengambil koran tersebut dan melihat bagian yang ditunjuk kakaknya. Judul beritanya cukup heboh: KARIMUN MENCEKAM
Peristiwa perusakan mesin jackpot yang bermula sekitar pukul 14.30 WIB membuat suasana kota Karimun sedikit tegang. Amuk ini sebenarnya sudah mereda pada petang hingga usai magrib. Namun entah karena apa, sekitar pukul 22.00 hingga 23.45 WIB, massa kembali melakukan perusakan terhadap beberapa tempat yang diduga memiliki mesin jackpot. Ratusan mesin  jackpot  dirusak dengan cara dipecahkan dan dipukul-pukul mesinnya. Beberapa massa terlihat mengumpulkan mesin-mesin jackpot di lapangan bola Teluk Air untuk dibakar.[1]
Di bagian lain Idul Fitri melihat juga berita menarik.  Dan ia membaca.
Akibat tetap membandelnya beberapa pengusaha hiburan, tidak menghiraukan SKB Muspida dan tetap membuka usahanya selama ramadhan, wali kota Batam mengeluarkan ancaman akan menyegel tempat hiburan yang melanggar tersebut.[2] Apakah mau tutup sendiri ataukah menunggu massa dulu yang menutupnya.” [3]
Idul Fitri termenung.
"Padahal ada tertulis dalam Hadis Qudsi, hamba-hamba-Ku adalah keluarga-Ku. Karena itu, orang yang paling Aku cintai adalah orang yang menyayangi sesamanya dan berusaha keras dalam mengatasi kebutuhan mereka. Apa mereka tidak tahu itu?"
Idul Fitri masih tetap termenung.
“Sudah kau baca halaman tujuh belas?”
Idul Fitri mengangguk.
“Manusia menjadi sok suci. Makanya aku murung. Aku sedih. Di bulan kelahiranku ini seharusnya orang bisa menyucikan diri, tapi malah sebaliknya. Kesucian  itu  datang  dan mendapat  nilainya saat  orang  berhasil melawan dan mengalahkan tantangan dan godaan, bukan menghindarinya. Jadi, tantangan itu harus ada. Godaan itu mesti ada dan harus dilawan agar manusia memperoleh kesucian. Bukan ditiadakan. Apalagi peniadaannya dengan kekerasan. Aku benci dengan tindak kekerasan mereka untuk meniadakan godaan dengan mengatasnamakan ultahku. Kalau godaan itu sudah tak ada lagi, apa lagi yang mau dilawan. Allah saja nggak menghilangkan 'pohon godaan' dari taman Firdaus.”
Mereka terdiam. Beberapa anak-anak kecil mulai menghidupkan kembang apinya. Mereka melemparnya ke atas pohon. Terlihat dua, tiga kembang api me-mancarkan api dari atas pohon. Sebagian jatuh ke tanah dan dipungut lagi untuk dilemparkan kembali ke atas pohon. Di pinggir jalan seorang anak merengek-rengek pada ibunya untuk dibelikan petasan. Pedagang es cendol sibuk melayani pembeli. Demikian pula dengan pedagang kue dan buah-buahan.
“Aku sedih karena ternyata ultahku membawa kedukaan banyak orang. Kemarin aku mengikuti aksi unjuk rasa para pekerja tempat hiburan, yang selama bulan kelahiranku tempat kerjanya ditutup. Dari mana mereka dapat uang untuk hidup?”
“Tapi kak, di sini ada berita yang sedikit menghibur. Halaman lima. Biar kubacakan. Sejak dikeluarkannya keputusan untuk menutup tempat-tempat hiburan selama bulan ramadhan, ternyata penghasilan para Wanita Penghibur (WP) meningkat. Sebab mereka banyak kedatangan tamu yang haus akan hiburan. Di duga, tamu biasanya mencari hiburan di tempat biasa, kini beralih mengunjungi lokalisasi [4] Banyak juga lho, berita-berita yang menggembirakan dalam rangka memeriahkan ultah kakak. Pesantren kilat banyak dibuat. Orang merayakan ultah kakak bersama kaum duafa.”
♥♥♥
Risman Tewas Dikeroyok Massa
Tangerang, Kompas
Sekelompok orang menghajar Risman (25) di rumah kontrakannya di Jln Candra, Kampung Kelapa I, Kelurahan Panunggangan Barat, Cibodas, Kota Tangerang, Senin (10/12) sekitar pukul 21.00. Lima jam kemudian Risman tewas. Polisi menduga tewasnya Risman itu berhubungan dengan pertengkaran saat korban memarahi sekelompok orang saat membangunkan warga agar bangun untuk makan sahur.
Menurut keterangan yang dihimpun dari petugas Polres Metro Tangerang, cekcok antara korban dengan sejumlah orang tersebut terjadi pada Senin dini hari sekitar pukul 02.00. Saat itu diduga Risman merasa terganggu oleh kegiatan seke-lompok orang yang membangunkan warga untuk makan sahur. Tradisi membangunkan orang untuk bangun dan bersahur ini biasa terjadi di setiap bulan Puasa.
Rupanya Risman merasa terganggu dan marah-marah kepada sekelompok orang itu. Namun, keributan tidak berlanjut, karena kelompok orang itu akhirnya memilih meninggalkan Risman.
Pada malam berikutnya, Risman didatangi oleh sekelompok orang. Kali ini Risman dihajar mereka hingga babak belur. Risman mengalami luka yang parah di tubuhnya. Korban akhirnya dibawa ke RSU Tangerang untuk diobati luka-lukanya. Namun, Risman menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit. (mul)[5]
Ramadhan melipat koran yang baru saja dibaca. Dia tak bisa melanjutkan mencari dan membaca berita lain. Dia merasa sedih. Mereka menodai kesucian ultahku. Mereka telah membunuh pada saat ultahku, bathinnya. Hanya demi membela sebuah kebiasaan dan tradisi. Sebutir air mata keluar dari matanya dan mengalir di pipinya. Pelan dan pelan. Butiran bening itu akhirnya jatuh memecah di tanah berdebu, bercampur dengan tangis duka derita kaum kecil yang menderita di bulan kelahirannya. Ramadhan menangis.
♥♥♥
Tanjung Pinang, 6 Desember 2001
by: adrian
Baca cerpen lain juga:
1.      Doa Si Toni Kecil
2.      Membunuh Bayang-bayang
4.      Kicau Burung Hilang
5.      Kuda Lumping



[1] Diringkas dariSijori Pos, 28 November 2001, hal 8
[2] Dikutip dariSijori Pos, 27 November 2001, hal. 18
[3] Ancaman ketua DPRD Batam, yang dikutip dari Sijori Pos, 29 November 2001, hal. 17. Dalam cerpen ini, ucapan Ketua DPRD Batam itu, diletakkan pada mulut Wali Kota Batam.
[4] Diringkas dari Sijori Pos, 29 November 2001, hal. 5
[5] Tambahan kemudian, dikutip dari Kompas, 12 Desember 2001, hal. 18, dengan sedikit pengeditan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar