Kamis, 11 April 2013

(C E R P E N) Jam Weker

JAM WAKER
Sejak diterima bekerja, Joko terpaksa mengurangi kebiasaannya nonton film sampai jauh larut malam. Ia harus bangun pagi jam lima dan berada di stasiun tidak boleh lebih dari jam enam. Lewat beberapa menit saja bisa berakibat fatal: ketinggalan kereta. Dan kalau sudah ketinggalan kereta pertama berarti ia harus menunggu kira-kira sejam kereta kedua yang searah dengan tempat kerjanya. Dan berarti ia terlambat sekitar 45 menit.
Sebenarnya ada jalan lain seandainya tidak dapat kereta. Taksi. Hanya duit saja yang jadi masalah. Jaraknya saja sudah jauh, belum lagi bila terjebak dalam kemacetan lalu lintas atau kerusuhan-kerusuhan. Memang akhir-akhir ini bukan saja aksi demo menuntut mundur presiden yang lagi marak, kerusuhan dan aksi tawuran, baik pelajar maupun warga masyarakat, pun turut ramai. Entahlah apa yang dicari mereka-mereka itu, pikir Joko suatu ketika. Manusia sepertinya sudah menjadi serigala bagi sesamanya.  Homo homini lupus,  istilahnya (nggak ada kaitannya dengan Lupus-nya Hilman).
Selama ini baru dua kali Joko terlambat. Pas pula waktu itu sang bos lagi masuk. Tepat waktu pula. Biasanya agak siangan atau malah tidak masuk sama sekali. Pamitnya saja ke kantor pada istri, tapi sebenarnya nongkrong ke “kantor” lain mencari hiburan di antara minuman dan wanita-wanita penghibur yang selalu ada dan siap dipanggil kapan saja bila dibutuhkan. Memang enak jadi bos.
“Kamu yang namanya Joko?” Hardik sang bos.
“Benar, Pak.” Joko tertunduk.
“Empat hari yang lalu sudah terlambat, kini terlambat lagi...”
Anu, Pak,”
Anu apa? Baru sebulan kerja di sini sudah mulai macam-macam. Kalau nggak mau kerja, ya keluar saja. Saya nggak rugi, kok. Masih banyak yang siap gantikan kamu. Tau? Saya lebih butuh dengan orang yang betul mau kerja.”
“Ii, iya, Pak, “ jawab Joko gugup.
“Kamu yang butuh pekerjaan ini. Saya sebenarnya tidak butuh kamu. Jadi, bisa saja saya gantikan kamu dengan orang yang sungguh-sungguh mau bekerja. Yang mau berdisiplin. Yang tekun. Yang …”
“Maaf, Pak.”
“Kamu kan baru sebulan kerja. Seharusnya punya semangat, dong!”
“Iya, Pak. Saya salah.” Wajah Joko memelas. Suaranya pun syahdu mengiba. “Maafkan saya, Pak. Lain kali saya nggak terlambat lagi. Saya janji.”
“Saya tidak butuh janji-janjian. Banyak orang suka bikin janji, tapi pelaksa-naan kosong. Saya cuma butuh tindakan nyata. Ya, sudah, kerja sana !”
Betapa leganya hati Joko mendengar kalimat terakhir bosnya itu. Seakan baru lepas dari beban penderitaan. Syukur, tidak jadi dipecat, pikirnya.
Dari peristiwa itu, sepulang kerja, Joko langsung mampir sebentar di terminal bus. Cari jam waker yang banyak dijual di pinggiran jalan. Lebih murah ketimbang yang ada di toko, alasan Joko.
Mulailah Joko hidup teratur. Tidak ada lagi alasan terlambat bangun. Weker itu selalu membangunkannya tepat jam lima pagi. Joko selalu menyetelnya setiap kali hendak tidur. Dan sejak ada weker, Joko mulai berani nonton film-film (memang sudah hobinya) sampai larut malam. Ia bisa nonton sinema aksi di Indosiar, atau layar emas di RCTI. Bukankah ada weker yang akan membangunkan saya nanti, demikian Joko. Jadi, kapan saja saya mau tidur, nggak masalah. Pokoknya bangun tepat  waktu, naik kereta tidak terlambat dan masuk kantor tepat waktu. Soal tidur bisa diatur di perjalanan. Lagi pula bos cuma baru mempermasalahkan keterlambatan saya. Jadi, kalo saya nggak terlambat, ya nggak ada masalah.
Mulanya Joko menganggap biasa dengan bunyi ’kriiiiiiiiing!’ jam wekernya setiap jam lima pagi. (Tapi mungkin tidak bagi teman seberang kamar tempat mereka kos). Joko langsung terjaga setiap kali mendengar bunyi itu. Malah beberapa kali sempat ia langsung terduduk atau berdiri sigap. Persis tentara yang lagi dapat komando di pagi buta saat lagi enak-enaknya mimpi malam.
Tapi lama kelamaan Joko mulai merasa bosan. Dari perasaan itu muncul perasaan jengkel. Semua perasaan itu tertuju pada jam wekernya yang awalnya dianggap Joko setia membangunkannya. Ini disebabkan karena Joko belum bisa melepaskan dirinya dari kelekatannya pada tempat tidur. Ia sudah terbiasa molor, apalagi kalau pagi itu cuaca mendukung untuk tetap melanjutkan tidur. Dia merasa weker itu selalu mengganggu acara tidurnya. Walaupun ia sendiri yang sebelumnya menyetel weker agar bunyi pada jam lima pagi.
Mosok aku sebagai manusia mau diatur-atur sama benda,“ keluhnya suatu sore. Di hadapannya jam weker diam membisu. “Manusia adalah ciptaan Tuhan yang jauh lebih unggul dari ciptaan lainnya. Dengan ciptaan lain yang hidup saja sudah jauh lebih unggul, apalagi dengan yang mati seperti weker ini. Malah agama mengajarkan bahwa manusia juga lebih unggul dari pada para malaikat.”
Jam weker tetap diam membisu. Jarum detik tetap terus berputar, sedang jarum menit menunjuk angka sembilan dan jarum jam pada angka enam. Joko terus mengoceh.
“Manusia diserahi tugas oleh Tuhan, sang pencipta, untuk menguasai ciptaan-Nya, baik yang hidup maupun yang mati. Jadi, seharusnya aku yang  menguasai jam weker ini. Kok sekarang ia malah menguasai aku. Mengatur-atur diriku dan memaksaku supaya bangun jam lima pagi. Enak benar dia ini.
“Seharusnya dia bersyukur aku ambil dia dari pinggiran jalan yang panas, kotor dan penuh asap debu. Apalagi daerah terminal. Di sini dia enak-enak. Nggak tersengat terik matahari, nggak ada asap kendaraan atau bising klakson kendaraan yang ingin cepat tapi terhalang oleh padatnya manusia dan kendaraan lain. Dia punya utang budi padaku. Seandainya dia ini manusia, tentu aku ini sudah jadi bosnya.”
Sementara Joko mengoceh, jam weker masih tetap membisu. Jarum detiknya terus berputar. Kini jarum panjangnya menunjuk pertengahan antara sebelas dan dua belas.
Mosok bosnya yang diperintah-perintah. Lancang benar. Kalau aku kaya, sudah kubanting atau kulempar keluar dia.”
Sekalipun sudah diomeli berkali-kali, namun kejadian yang sudah-sudah tetap saja terjadi. Joko selalu merasa terganggu tidurnya setiap kali jam lima. Sampai akhirnya ia membuat suatu rencana.
Pagi-pagi sekali Joko sudah bangun dari tidurnya. Jamnya masih menun-juk waktu 04.45. Joko duduk di atas ranjangnya setelah beberapa menit ia berdiri menggerak-gerakkan badannya. Di depannya jam weker masih berdetak-detak. Joko tetap menatapnya. Ia tersenyum.
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing...... Weker berdering. Tepat jam lima.
Joko berdiri. “Kau terlambat!! Sudah dari tadi aku bangun.”
Joko keluar kamar menuju kamar mandi sambil bersiul-siul.
Sinaksak,  Pebruari 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar