Selasa, 01 Oktober 2013

Tanpa Pengamalan PANCASILA Itu Mati

Pancasila adalah dasar negara kita. Di dalamnya memuat sila-sila yang dapat mengatur kehidupan berbangsa. Karena itulah Pancasila menjadi norma. Cukup bijaklah para pemimpin bangsa kita dahulu ketika menghapuskan 7 kata yang ada dalam sila pertama. Dengan hilangnya 7 kata itu, maka Pancasila menjadi norma yang universal, bukan saja berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia melainkan juga dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat dunia.

Norma-norma apa saja yang terkandung dalam Pancasila? Secara garis besarnya, ada lima norma, yang dikenal dengan istilah 5 sila. Karena itu juga disebut dengan Pancasila (panca= lima). Akan tetapi dalam kelima norma itu terkandung begitu banyak nilai-nilai luhur manusia. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, bukan cuma mengatur kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa; bukan juga mau mengatakan bahwa dalam negara Indonesia tidak ada tempat bagi ateisme. Ketuhanan yang maha esa memuat nilai-nilai dan sikap umat manusia kepada Tuhan. Sikap itu bukan hanya ditujukan kepada Tuhan, melainkan juga kepada sesama. Apalah artinya kita bersikap positif terhadap Tuhan sementara kepada sesama kita berlaku negatif.

Ketuhanan yang maha esa berarti kita diminta untuk memuliaan Allah dengan mengangkat harkat martabat manusia. Dari sinilah kita dapat mewujudkan norma-norma lainnya seperti keadilan, keadaban, kesatuan dan persatuan serta kerukunan. Karena itu, sangat ironis jika kita mengaku memuliakan Allah tapi tindakan kita justru merendahkan martabat manusia, merusak kesatuan dan kerukunan.

Dan inilah yang sedang terjadi dewasa ini. Karena itu, banyak suara mengatakan bahwa Pancasila sedang diuji. Berbagai kasus di negara ini benar-benar telah menguji "kesaktian" Pancasila. Kasus intoleransi dalam beragama, kekerasan dengan mengatas-namakan agama (juga Tuhan), korupsi merajalela, kerusakan alam dan masih banyak lagi contoh. Saudara-saudara kristen dan katolik, di kawasan Barat, merasa sulit untuk mendapatkan izin membangun rumah ibadah, tidak seperti saudara mereka di wilayah Papua dan Flores. Sementara saudaranya muslim tidak mendapat kesulitan mendirikan mesjid di wilayah Timur (meski tidak semua, tapi prosentasenya sangat kecil); dan di wilayah Barat mereka dapat membangun meski tanpa izin sekalipun. Di Pangkalpinang, orang katolik mendapat kesulitan untuk mendirikan seminari (seperti madrasah atau pondok pesantren dalam agama islam), sementara ada begitu banyak madrasah dan pondok pesantren yang tidak punya izin.

Apa yang diutarakan di atas menunjukkan amalan norma Pancasila belumlah merasuk dalam sanubari kita. Kita hanya tahu apa itu Pancasila. Sama seperti kita tahu apa itu agama dan Tuhan, sementara sikap kita terhadap agama dan Tuhan terkadang berbanding terbalik dalam kehidupan kita.

Bukan saja orang Indonesia mengakui, orang luar juga mengakui Pancasila itu baik dan bagus. Paus Yohanes Paulus II, dalam kunjungannya ke Indonesia, sangat memuji Pancasila. Tentulah, yang dipuji adalah teorinya. Nah, sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, ada teori ada praktek. Maka, sudah sepantasnya teori Pancasila itu diprakteknya.

Pancasila itu sama seperti iman dalam setiap agama. Iman itu harus diwujud-nyatakan dalam tindakan nyata.  Rasul Yakobus pernah menulis, "Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.... Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati." (Yak 2: 17, 26). Demikian pula dengan Pancasila. Dia harus diamalkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga dengan demikian dia tidak mati melainkan lestari.

Karena itu, marilah saudara-saudari sebangsa dan setanah air kita amalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita. Pancasila diperuntukkan bagi kita warga Indonesia tanpa terkecuali. Siapa saja yang mengaku sebagai orang Indonesia, hendaknya terkena kewajiban untuk mengamalkannya. Kita harus malu jika sebagai orang Indonesia kita lalai atau melupakan Pancasila.

Balai, 4 Juni 2012
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar