Sabtu, 23 November 2013

Tinjauan Buku KADO CINTA bagi Pasangan Beda Agama

GEREJA KATOLIK TIDAK MELARANG NIKAH BEDA AGAMA
Catatan atas Buku “Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama”
Tanggal 3 Agustus lalu saya membeli buku “Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama” di Toko Buku Gramedia Pangkalpinang. Buku ini sebenarnya sudah sejak tahun lalu saya incar, namun baru tahun ini kecapaian hasrat saya. Akan tetapi, baru tanggal 1 November saya membacanya.
Ada beberapa catatan atas buku ini.
  1.  Membaca buku ini, terus terang kita melihat wajah islam rahmatan lil alamin, penuh kasih, jauh seperti yang ditampilkan selama ini: intoleran, sadis, kejam, dll. Namun, tak bisa dipungkiri, dan ini yang patut disayangkan, tampilan islam seperti dalam buku ini ibarat setetes embun di padang gurun; muncul sebentar lantas hilang. Tentu banyak orang berharap justru tampilan islam penuh kasih ini lebih dominan.
2.      Pada hlm 4 dikatakan bahwa Nikah Beda Agama (NBA) membingungkan banyak pihak, termasuk pastor. Uraian ini terkesan arogan, seolah-olah hanya penulis dan/atau kelompoknya saja yang dapat “menyelesaikan masalah tanpa masalah.” Ada kesan bahwa di saat orang lain bingung, penulis tidak.
Selama menangani perkawinan dalam Gereja katolik, baik yang seagama maupun campur, sama sekali tak pernah ditemukan kebingungan para pastor atau Gereja katolik pada umumnya. Hal ini karena Gereja Katolik mempunyai Hukum Gereja yang mengatur perkawinan (kanon 1055 – kanon 1165). Hukum ini bersifat universal, mengikat semua umat katolik di mana saja berada (bdk. Kan. 1).
Yang sering menimbulkan kebingungan adalah masalah yang muncul pasca NBA, yaitu cerai atau poligami. Ini yang lazim terjadi. Yang muslim, karena agamanya membolehkan poligami, maka ia dapat menikah lagi. Hal ini tentu menjadi masalah bagi yang katolik. Demikian pula dengan kasus perceraian. Kebingungan ini muncul karena mempertimbangkan pihak katolik yang ditinggalkan (kasus cerai) tidak boleh menikah lagi secara katolik; atau karena tidak boleh cerai sehingga tetap tinggal dalam poligami.
3.      Pada uraian perkawinan menurut pandangan agama katolik (hlm 111 – 116) ada beberapa tinjauan yang keliru atau salah. Dampaknya, orang yang membaca juga akan salah memahaminya. Amat disayangkan bahwa penulis hanya mengambil dari kesaksian umat sebagai narasumbernya. Sementara kutipan kanon hukum Gereja dipahami secara keliru. Kenapa tidak mencari sumber yang memadai (padahal ada begitu banyak buku tentang perkawinan katolik yang dijual bebas di toko-toko buku)? Atau, kenapa tidak berkonsultasi dengan orang katolik yang berkompeten (pastor atau ahli hukum Gereja, misalnya)?
Beberapa tinjauan keliru soal pernikahan katolik:
a)      Pada hlm 111 penulis mengatakan bahwa agama katolik pada prinsipnya melarang NBA. Hal ini kembali ditegaskan pada hlm 113 dengan mengutip kanon 1086 dan 1124.
Perlu ditegaskan bahwa Gereja Katolik TIDAK MELARANG pernikahan beda agama dan beda Gereja. Penulis mengutip kanon 1086 dan 1124 sebagai dasar larangan itu. Baiklah kami kutip bunyi kanon tersebut.
Kanon 1086, § 1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
Jika kita melihat uraiannya, sama sekali tidak ada klausul “dilarang, melarang atau larangan.” Yang ada adalah klausul “tidak sah.” Perlu diketahui bahwa kanon 1086 ini masuk dalam Bab III hukum Gereja yang berjudul “Halangan-halangan yang Menggagalkan pada Khususnya.” Artinya, kanon-kanon yang ada dalam bab III ini (kan 1083 – 1094) membahas halangan-halangan yang dapat menggagalkan sebuah perkawinan. Jadi,  tidak boleh memahami kanon 1086 terlepas dari maksudnya. 
Ada beberapa halangan yang dapat menggagalkan perkawinan (baik seiman maupun campur). Ada halangan dapat dihilangkan dengan cara meminta dispensasi, namun ada juga yang tidak dapat. Kanon 1086 termasuk halangan yang dapat dihilangkan dengan dispensasi. Jadi, tidak ada larangan atas NBA. Kanon 1086 bukan berbicara soal larangan tetapi efek dari melanggar halangan, yaitu tidak sah. Namun, jika orang sudah mengatasi halangan dengan mendapatkan dispensasi, maka perkawinan itu menjadi sah.
Kanon 1124, Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang di antaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.
Memang di dalam kanon ini ada klausul “dilarang”, akan tetapi penulis mungkin salah memahaminya. Karena salah memahaminya, maka salah juga kesimpulannya. Tentulah pembaca akan memahami kesimpulan penulis. Kalau dibaca dengan jernih keseluruhan kalimat kanon 1124 tersebut, pasti kita tak akan sampai berkesimpulan bahwa perkawinan campur (beda Gereja) dilarang. Dari uraian kanon 1124 ini, yang dilarang adalah NBA “tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang.” Jadi, jika perkawinan campur sudah ada izin dari otoritas yang berwenang, maka perkawinan itu tidak dilarang. Izin inilah yang dimaksud dengan dispensasi, seperti uraian di atas. Dengan kata lain, orang katolik boleh saja NBA, asalkan sudah mendapatkan dispensasi/izin. Jika yang bersangkutan tetap melanjutkan pernikahan tanpa izin, maka perkawinan itu tidak sah di mata Gereja katolik (bdk. Kan. 1086 §1).
b)     Pada hlm 111 tertulis, “..., ada sejumlah halangan yang membuat tujuan pernikahan tidak dapat diwujudkan.” Cetak miring dari kami, karena frase tersebut bermasalah. Gereja katolik hanya melarang untuk menikahkan pasangan yang memiliki halangan. Sekalipun Gereja katolik melarang, bukan lantas berarti mereka tidak dapat menikah. Pasangan dapat saja tetap menikah, meski ada sejumlah halangan. Ini berarti mereka melanggar larangan. Artinya, apa yang dilarang tidak otomatis tidak bisa dilakukan; apa yang tidak boleh, belum tentu berarti tidak dapat.
Sebagai contoh perbandingan. Ada rambu lalu lintas yang berarti dilarang masuk. Itu berarti orang tidak boleh masuk. Namun, apa lantas berarti orang tidak dapat masuk? Sama sekali tidak. Orang tetap saja dapat masuk. Ini berarti dia melanggar aturan.
c)     Pada hlm 115 penulis menulis bahwa pernikahan katolik hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan uskup, pastor paroki atau imam. Entah dari mana penulis mendapat pernyataan ini. Jelas sekali bahwa pernyataan ini salah. Efeknya, orang bisa membuat kesimpulan keliru, seperti tampak dalam kalimat menyusulnya (di buku).
Dalam Gereja katolik, untuk sahnya sebuah perkawinan, dibutuhkan beberapa syarat; salah satunya adalah dilakukan di hadapan petugas resmi Gereja (dikenal dengan istilah peneguh). Yang termasuk petugas resmi Gereja sebagai peneguh adalah Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon (lih. Kan 1108 § 1). Salah satu yang termasuk Ordinaris wilayah adalah uskup.
Akan tetapi, dalam situasi tertentu, perkawinan tetap dapat dilakukan tanpa kehadiran petugas resmi Gereja tadi. Seorang awam yang diberi wewenang resmi, dapat menjadi peneguh sebuah perkawinan (lih. Kan 1112 § 1). Ini berarti bahwa, meskipun tidak di hadapan uskup atau pastor paroki atau imam, perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang awam yang sudah diberi wewenang, adalah perkawinan yang sah.
Bahkan, perkawinan dapat dilangsungkan tanpa kehadiran peneguh, entah itu petugas resmi Gereja ataupun seorang awam (lih. Kan 1116 § 1). Ini berarti bahwa, meskipun tidak di hadapan uskup atau pastor paroki atau imam, perkawinan yang dilangsungkan tanpa peneguh (dengan memperhatikan kan 1116 § 1 dan § 2) adalah perkawinan yang sah.
4.  Kesimpulan yang bisa diambil dari kesalahan dalam buku ini adalah perbedaan persepsi. Penulis, ketika membaca kanon hukum Gereja, lebih menitik-beratkan pada aspek “dilarang”, sementara Gereja katolik, dan yang selama ini terjadi, lebih menitik-beratkan “boleh”. Hal ini dapat dilihat dalam kanon 1058 yang berbunyi, Semua orang dapat melangsungkan perkawinan, sejauh tidak dilarang hukum.” Jadi, tampak jelas bahwa siapa saja dapat menikah, baik seagama maupun campur, asal tidak melanggar aturan/hukum. Yang melanggar hukum itulah yang dilarang. Dan ini lumrah. Bukankan segala bentuk pelanggaran hukum itu dilarang? Misalnya, membunuh itu melanggar hukum; pastilah dilarang (mana mungkin dibolehkan). Karena itulah, Gereja katolik sama sekali tidak pernah mengalami kebingungan seperti yang dikatakan.
Setiap pasangan yang mau menikah, entah nikah seagama atau campur, ketika datang ke pastor atau katekis (petugas Gereja), pasti akan dikatakan, “Silahkan ambil dan isi formulir pendaftaran Kursus Persiapan Perkawinan.” Kalau pasangan calon NBA minta pendapat, kurang lebih akan dijelaskan beberapa ketentuan. Tak pernah terdengar ada pastor atau petugas Gereja yang didatangi pasangan calon NBA untuk minta pendapat akan berkata dalam kebingungan bahwa NBA itu dilarang.
Dalam katakesenya kepada kaum muda, memang sering dikatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan katolik-katolik. Akan tetapi, disadari bahwa yang ideal itu pasti sulit. Yang ada adalah yang real; dan yang real itu adalah juga pernikahan campur. Namun bukan lantas berarti Gereja katolik melarangnya. Untuk menjawab tantangan NBA, Gereja katolik sudah membuat ketentuan-ketentuan yang harus diikuti bagi yang hendak melakukan NBA. Hukum Gereja lebih menekankan himbauan untuk tidak menikah dini (lih. Kan 1072), bukan NBA.
Soal pencatatan pun jarang ditemukan adanya kebingungan atau kesulitan. Ada paroki yang mempunyai petugas khususnya untuk mengurus pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Petugas ini biasanya merupakan seksi keluarga paroki itu. Jadi, setelah selesai upacara pemberkatan, petugas ini besoknya langsung mengurusnya di catatan sipil. Biasanya tidak lebih dari 2 atau 3 minggu. Ada paroki yang tidak punya petugas, sehingga pasangan yang baru nikah itulah yang mengurus sendiri.
Karena itulah, tidak ada kebingungan pada para pastor menghadapi NBA karena semuanya sudah diatur dalam hukum Gereja. Orang yang mau NBA tinggal mengikuti ketentuan yang berlaku umum. Hukum ini berlaku secara universal, bukan hanya di Indonesia saja, melainkan di negara-negara lain. Untuk di Indonesia, hukum ini berlaku di semua paroki. Jadi, bila ada paroki atau pastor yang melarang NBA, jelas itu bertentangan dengan hukum Gereja. Atau, bila ada pastor yang tidak mau memberkati pernikahan beda agama, meski kedua pasangan sudah mengikuti ketentuan hukum, maka pastor tersebut melanggar hukum. 
Tidak seperti dalam islam, sebagaimana yang diutarakan dalam buku hlm. 170 – 171, di mana mayoritas muslim melarang dan mengharamkan, sementara minoritas membolehkan, meski kedua kelompok ini sama-sama mendasarkan argumennya pada Al-Quran dan Sunnah. Malahan institusi tertinggi agama islam di negeri ini (MUI) dengan terang-terang mengharamkan NBA (hlm 149 – 154). Dan selama ini, kami menghadapi umat islam yang berpandangan mayoritas itu. Hal yang sama juga dengan soal pengucapan syahadat (hlm 176 – 178). Selama ini selalu ditemui orang yang berpikiran demikian. Baru setelah membaca buku ini, kami menemukan perspektif yang lain. Namun gaungnya lemah.
Karena itulah, orang dapat menikah dengan beda keyakinan dan agama di dalam Gereja katolik. Yang non katolik tetap dengan keyakinan dan agamanya. Ini berlaku di seluruh dunia. Tidak seperti di dalam agama islam. Hanya segelintir orang saja yang menyatakan bahwa dalam NBA, yang non islam tetap dengan agama dan keyakinan. Ada begitu banyak orang islam masih dengan keyakinan bahwa yang non islam harus masuk islam dulu dengan mengucapkan syahadat baru bisa menikah.

Demikianlah beberapa catatan atas buku Nikah Beda Agama ini. Patut diakui bahwa buku ini, dengan segala kekurangannya, benar-benar memberi pencerahan bagi siapa saja.
Jakarta, 7 Nov 2013
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar