Minggu, 06 Juli 2014

Baptis Bayi dari Keluarga Bermasalah

BOLEHKAN BAPTIS BAYI DARI KELUARGA BERMASALAH?

Persoalan

Kasus pembaptisan anak dalam keluarga perkawinan campur beda agama atau beda gereja, sering kali menjadi persoalan keluarga yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apalagi jika perkawinan dari orang tua yang bermasalah secara hukum kanonik. Misalnya perkawinan yang diteguhkan tidak seturut norma gereja Katolik. Begitu banyak masalah dalam keluarga kalau dikelompokkan ada bermacam-macam dengan persoalannya masing-masing. Namun pada umumnya persoalan praktis pastoral muncul seperti, mungkinkah pembaptisan anak yang lahir dari perkawinan campur beda agama (beda gereja) dilakukan? Atau dapatkah pembaptisan anak dilakukan meskipun perkawinan orang tuanya bermasalah? Lalu apa yang perlu dilakukan keluarga-keluarga yang menemui persoalan ini? Begitu banyak persoalan muncul jika orang tua dari anak yang akan dibaptis menemui persoalan bukan dari dirinya melainkan dari orang tuanya.

Kita sadar bahwa keluarga kristiani memiliki kewajiban mengusahakan agar anaknya dibaptis dalam minggu-minggu pertama setelah kelahirannya sesuai dengan norma kanonik (bdk. Kan. 867). Apalagi jika orang tua anak beda agama atau beda gereja maka akan muncul persoalan. Tugas itu merupakan bentuk tanggungjawab asasi orang tua katolik yakni dengan menghadap pastor paroki, mempersiapkan diri dan anak yang akan dibaptis dengan baik menjelang penerimaan sakramen pembaptisan melalui kursus persiapan pembaptisan, dan kemudian mendidik anak secara katolik hingga dewasa.

Norma-norma Yuridis

Pembaptisan anak adalah hak asasi setiap orang tua terhadap iman anaknya. Apakah mau dibaptis setelah anak dapat menggunakan akal budinya? Ataukah dibaptis pada minggu pertama sesudah kelahiran anak? Gereja katolik tentunya memiliki pegangan dasar mengapa orang tua hendaknya mengusahakan agar anaknya dibaptis dalam minggu-minggu pertama setelah kelahirannya. Alasannya mendasar karena anak-anak yang dilahirkan dalam kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal maka mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam Pembaptisan, supaya dibebaskan dari kekuasaan dan dimasukkan ke dalam kerajaan kebebasan anak-anak Allah, kemana manusia dipanggil. Gereja dan orang tua dapat dikatakan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran (bdk. KGK, 1250). Lalu bagaimana keabsahannya jika orang tua mereka dalam masalah perkawinan (perkawinan campur beda agama/gereja)? Kitab Hukum Kanonik 1983 memberikan pernyataan demi sahnya pembaptisan itu meski orang tua mereka beda agama.

Kanon 868 berbicara tentang lecitasi pembaptisan anak (bayi). Apa yang dikatakan di dalam kanon tersebut.
Dalam kanon 868, KHK 1983 menyatakan bahwa:
§1: ”agar bayi dibaptis secara licit, haruslah: orang tuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang menggantikan orang tuanya secara legitim, menyetujuinya; ada harapan cukup berdasarkan bahwa anak itu akan dididik dalam agama Katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orang tuanya mengenai alasan itu”,

§2: ”anak dari orang tua Katolik, bahkan juga dari orang tua tidak Katolik, dalam bahaya maut dibaptis secara licit, juga meskipun orang tuanya tidak menyetujuinya”.

Selain adanya unsur keabsahannya pembaptisan anak dituntut ada salah seorang pihak yang memberikan persetujuannya, perkawinan campur beda agama terdapat tuntutan janji bahwa pihak Katolik agar bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik (bdk. Kan 1125 no. 1). Bagaimana jika persoalan perkawinan mereka secara hukum belum beres. Pembaptisan tetap menjadi tanggungjawab orang tua meskipun perkawinan belum beres. Oleh karena itu, perlu ada perhatian pada pembaptisan anak sebagai nilai tertinggi penyelamatan jiwa-jiwa.

Persoalan kanonik bagi perkawinan akan juga berpengaruh bagi perkembangan iman anak. Persoalan itu memang pelik apalagi jika dihadapkan dengan persoalan kebebasan beragama. Kanon yang berhubungan dengan kebebasan beragama adalah kanon 748 § 2. Kanon tersebut menyatakan bahwa: ”tidak seorangpun pernah boleh memaksakan orang lain untuk memeluk iman Katolik, bila hal itu bertentangan dengan suara hatinya”. Adakah pernyataan ini bertentangan dengan tugas dan tanggungjawab orang tua anak dalam mendidik dan mengusahakan sekuat tenaga untuk dibaptis dalam Gereja Katolik?

Para ahli hukum Gereja tidak melihat adanya kontradiksi antara kedua kanon tersebut. Karena kan. 868 berbicara tentang lecitasi dari tindakan pembaptisan dan kan 748§ 2 berbicara tentang kebebasan hati dalam memilih agama dan aktualisasi dari keberimanan itu dijamin oleh hukum ilahi. Namun apa alasannya seseorang membaptis bayi meskipun orang tuanya tidak beragama Katolik dan perkawinan mereka bermasalah? Apa alasannya seseorang membaptis bayi atau anak dalam keadaan demikian? Tentu ada prinsip-prinsip yang melatarbelakanginya.

Prinsip-prinsip dasar pembaptisan anak

1. Persetujuan orang tua

Demi sahnya, tindakan pembaptisan pada bayi dibutuhkan persetujuan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Pernyataan ini berkaitan dengan kanon sebelumnya yakni kan. 867 yang menyatakan bahwa para orang tua wajib mengusahakan agar bayi dibaptis minggu-minggu pertama sesudah kelahirannya. Namun pembaptisan anak yang orang tuanya bukan Katolik harus mendapat persetujuan dari orang tua pihak bukan Katolik. Prinsip ini mau menghormati hak dari orang tua yang bukan Katolik terhadap pembaptisan anak. Selain itu, nampak kanon ini mau menekankan unsur kebebasan beragama. Hal seperti itu ditegaskan oleh ajaran Konsili Vatikan II dalam Pernyataan tentang Kebebasan Beragama no. 2: menyatakan bahwa ”pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama. Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial dan kuasa manusiawi manapun juga, sedemikian rupa sehingga dalam hal keagamaan tak seorangpun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya…” (Dignitatis Humanae, no. 2). Maka pembaptisan yang bertentangan dengan kehendak orang tuanya dilarang, namun hanya dalam situasi bahaya maut anak dapat dibaptis meskipun tanpa persetujuan orang tuanya.

2. Pendidikan iman anak tanggungjawab orang tua

Pendidikan iman anak merupakan tanggungjawab pertama dan utama dari orang tua. Merekalah yang menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka mereka terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Terutama dalam keluarga kristen, anak-anak sejak dini harus diajar mengenali Allah serta berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima di dalam sakramen pembaptisan (bdk. Gravissimum Educationis, no. 3). Pernyataan ini berhubungan erat dengan hak natural (kodrati) dari orang tua untuk mendidik anaknya dengan sekuat tenaga agar mengikuti iman orang tuanya (bdk St. Thomas Aquinas hak orang tua: Patria Potestas). Atas dasar itulah pembaptisan pada usia bayi dapat dilakukan, karena dijamin oleh orang tua/walinya.

3. Salus animarum (Kan. 1752)

Dibalik pernyataan kanon 868 terdapat suatu prinsip yakni karya pelayanan pastoral Gereja pertama dan utama demi keselamatan jiwa-jiwa, itulah hukum yang tertinggi (bdk. Kan. 1752), Maka dalam pelayanan pastoral khususnya masalah pembaptisan anak dari perkawinan yang bermasalah nilai keselamatan jiwa-jiwa menjadi prinsip utama. Selain itu dalam kasus anak dalam bahaya mati (il pericolo di morte) melakukan pembaptisan demi keselamatan jiwa anak itu hal yang penting dan pokok. Karena itulah dalam keadaan bahaya mati meskipun orang tua tidak semua beragama Katolik atau salah satunya beragama Katolik, tindakan pembaptisan bayi adalah sah dan tidak bertentangan dengan kebebasan beragama.

1 komentar:

  1. Ada prinsip dasar yang sangat menarik, namun kurang mendapat perhatian dari pemimpin gereja, yaitu kanon 1752. Kanon ini bisa saja diterapkan pada hal yang, bukan cuma kasus baptisan saja.

    BalasHapus