Kamis, 24 Juli 2014

Beda Cara Pandang

JANGAN PAKSAKAN UKURANMU KE ORANG LAIN
Seorang anak kecil (8 tahun) ingin memberikan hadiah ulang tahun untuk ayahnya. Dia tahu kalau ayahnya suka topi. Maka si anak ini, sepulang sekolah, mampir ke toko yang menjual aneka jenis topi. Dia coba pasang ke kepalanya dari satu topi ke topi lain sambil melihat diri di cermin. Akhirnya ia menemukan topi yang pas. Dia minta penjual untuk membungkusnya dengan kertas kado.
Pada saat ulang tahun ayahnya, dia menyerahkan kado itu. Ia meminta ayahnya untuk segera membukanya. Ayahnya tersenyum setelah mengetahui isi kado itu. Si bocah meminta ayahnya untuk memakainya, karena ia ingin melihatnya. Ternyata topi itu kecil. Tidak pas dengan kepala ayahnya.
“Ah, tak mungkin!” Ujar anak kecil itu. “Kemarin aku coba pas koq.”
“Itu kepalamu,” jelas mamanya.
“Berarti kepala ayah yang salah.”
Demikian sekilas cerita. Si anak memaksakan ukurannya kepada orang lain, sehingga jika ukurannya tidak pas dengan orang lain, maka kesalahan ada pada orang lain.
Berawal dari Sebuah Komentar

Suatu hari, tanpa sengaja saya membuka sebuah situs internet. Ketika melihat isi situs tersebut, saya langsung berkata dalam hati bahwa isi situs itu banyak kebohongannya. Namun bukan isi situs itu yang menarik perhatian saya sehingga melahirkan tulisan ini, melainkan pada sebuah komentar.
Ada sebuah komentar, yang ditulis oleh Otori Mitsuke. Mungkin ini nama samaran, dan saya sama sekali tidak tertarik membahas siapa komentatornya. Saya tertarik pada komentarnya, karena saya penganut azas “Don’t judge the book by its cover.” Saya juga pengagum Ebiet G Ade, yang pernah berkata lewat syair lagunya, “Dengarkanlah kata-kataku. Jangan engkau melihat, siapa aku.”
Komentar itu memang ditulis oleh satu orang atas nama Otori Mitsuke. Namun saya dapat memastikan bahwa itu bukan hanya pendapat Mitsuke semata, melainkan pendapat umum umat muslim. Karena sering juga saya menemukan pendapat senada dengan komentar Mitsuke, baik itu dari kalangan awam biasa maupun imam.
Agar jelasnya, saya akan kutip komentar itu. Demi Bahasa Indonesia yang baik dan benar, saya mengedit tulisan tersebut tanpa menghilangkan pesannya sedikitpun. Pesan komentator itu adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an terjaga keasliannya, sebagaimana janji Allah. Kalau tidak percaya, coba kalian:
1. Palsukan Al-qur’an dan kalian terbitkan Al-Qur’an itu ke seluruh Indonesia dan semua toko buku.
2. Kalian palsukan Injil dan kalian terbitkan Injil itu ke seluruh Indonesia dan semua toko buku.
Dan kalian bakal mendapatkan efek yang teramat sangat jauh berbeda dari kedua hal yang kalian lakukan, yaitu:
1. Kalau kalian palsukan Al-Qur’an, kalian pasti akan diprotes besar-besaran, didemo, diburu polisi dan masuk tv…..masuk penjara
2. Kalau kalian palsukan Injil, kalian pasti tidak kenapa-napa, tak ada protes besar-besaran,  karena Injil sekarang memang sudah dipalsui…. Injil sekarang berbeda dengan jamannya nabi Isa a.s…. masih original.” (lih: http://kesalahanquran.wordpress.com/2011/11/11/kumpulan-kesaksian-para-murtadin-islam/)
Sebuah Kebenaran
Saya harus jujur mengatakan bahwa apa yang dikatakan Otori Mitsuke tidak sepenuhnya salah. Ada kebenaran di dalam pernyataannya. Kebenarannya adalah bahwa jika Al-Quran dipalsukan lalu disebarluaskan, maka akan timbul reaksi besar. Reaksi besar ini bukan hanya diarahkan kepada pemalsu, tetapi juga kepada penerbit dan toko buku. Berbeda dengan Injil atau Kitab Suci orang kristen.
Adalah benar apa yang dikatakan Mitsuke bahwa umat islam akan marah, protes dan (bahkan) melakukan tindakan anarkis lainnya bila ada orang yang memalsukan Al-Quran. Ini adalah fakta. Jadi, kebenaran pernyataan Mitsuke itu berdasarkan fakta. Saya bisa katakan bahwa pendapat Misuke ini mewakili pendapat umum umat islam, karena ada banyak ditemui orang islam yang berpikiran demikian. Jadi, tolok ukur kebenaran dan keaslian Al-Quran ditentukan pada ada tidaknya amarah, demo dan pemenjaraan pelaku pemalsuan. Singkatnya, kebenaran dan keaslian itu adalah urusan selera.
Akan tetapi, apakah kemarahan, protes dan tindakan anarki merupakan tolok ukur keaslian Al-Quran? Harus disadari juga bahwa reaksi marah, kekerasan bahkan sikap anarkis umat islam ini bukan hanya muncul bila terjadi sesuatu pada Al-Quran yang tidak benar, melainkan juga pada atribut agama. Misalnya, jika ada “pelecehan” atau informasi yang tidak disukai berkaitan dengan Nabi Muhammad, maka umat islam seluruh dunia akan demo, protes, marah bahkan bertindak brutal.
Tentu kita masih ingat akan kasus pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” oleh Toko Buku Gramedia pada 14 Juni 2012. Gramedia takut menghadapi ancaman umat islam. Dari pada menanggung resiko yang besar, pimpinan Gramedia mengambil sikap dengan membakar buku tersebut disaksikan oleh utusan MUI. Jelas sekali bahwa aksi ini hanya untuk meredam kemarahan umat islam. (baca ulasannya di Kompasiana). Atau ketika ada video dengan nabi Muhammad, umat islam sedunia marah.
Jadi, sifat suka marah yang dapat berujung pada tindakan anarkis sepertinya bukan hanya merupakan tolok ukur keaslian Al-Quran, melainkan menjadi karakter umat islam. Mungkin sifat ini mendapat pendasarannya dalam Al-Quran sendiri. Demi membela (atribut) agama, apapun boleh dilakukan. Karena itu wajar bila bulan September lalu Pemerintahan Rusia memerintahkan untuk memusnahkan Al-Quran, karena dinilai menciptakan ekstremisme.
Injil Dipalsukan?
Terlihat jelas bahwa sdr. Mitsuke, atau umat muslim pada umumnya, memaksakan cara pandang mereka kepada keaslian Injil. Pola pikir ini sama seperti cara pandang anak kecil dalam cerita kita di atas. Karena tidak pas, ia berkata bahwa kepala ayahnya yang salah. Maka pertanyaan kita sekarang, apa yang menjadi tolok ukur keaslian Injil?
Untuk menguji keaslian sesuatu, kita membutuhkan pembanding yang juga sama dengan sesuatu itu. Pembanding inilah yang menjadi tolok ukurnya, bukan soal selera. Misalnya, untuk menguji keaslian emas, kita harus punya pembandingnya. Emas yang kita uji itu kita bandingkan dengan emas murni sebagai pembandingnya; jika sama maka emas yang diuji itu asli. Jadi, bukan karena saya suka, maka emas itu asli.
Sekedar contoh, saya ambil dari masalah eksorsis. Ada film yang mengisahkan tentang eksorsis dengan judul “The Rite”. Dikatakan bahwa film ini didasarkan dari kisah nyata yang ditulis dalam buku dengan judul “Ritual Pengusiran Setan: Pencarian keyakinan seorang eksorsis di zaman modern” karya Matt Baglio. Dari sini satu kesimpulan adalah buku lebih dahulu dibuat daripada film. Jika kita sudah membaca bukunya, lalu membandingkan filmya,, kita akan menemukan perbedaan kontras. Pertanyaan: mana kisah yang asli?
Kalau hanya berdasarkan selera, mungkin orang mengatakan filmlah yang asli. Tapi kalau dibuat pembandingan, kita akan menemukan bahwa film itu berbohong. Buku mendekati kebenaran karena ia langsung dari sumber utama, sedangkan film yang dibuat jauh setelah buku diterbitkan, sangat jauh dari sumber utama.
Demikianlah dengan Injil. Sebenarnya ada banyak kitab yang disebut ‘injil’. Umumnya diketahui ada sekitar 20 injil. Dari ke-20 kita injil itu, Gereja hanya mengakui 4, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Alasannya, penulisnya tidak jauh dari sumbernya. Misalnya, Injil Matius dan Yohanes diyakini ditulis oleh Rasul Matius dan Yohanes; sedangkan Injil Markus dan Lukas ditulis oleh murid rasul Yesus (Markus, murid rasul Petrus; dan Lukas, murid rasul Paulus). Jika membandingkan keempat tulisan Injil itu terdapat kesamaan pesan.
Hal ini berbeda dengan injil-injil lainnya. Sekalipun memakai nama rasul (misalnya, injil Petrus, injil Thomas, injil Filipus, injil Yudas dan injil Keduabelas rasul), sangat diragukan keasliannya. Ini dapat dilihat dari tahun penulisan serta bahasa dan gaya penulisan. Misalnya, injil Petrus. Memang ia memakai nama Petrus, salah satu rasul Yesus. Namun, jika ditelaah, terdapat perbedaan mencolok soal gaya penulisan antara surat-surat Petrus dengan injil Petrus itu; pesannya juga bertolak belakang. Isi surat Petrus masih sejalan dengan keempat Injil yang diakui Gereja, juga dengan surat-surat lain yang diakui Gereja. Dari sinilah akhirnya Gereja berkesimpulan bahwa injil Petrus, sekalipun memakai nama Rasul Petrus, adalah palsu.
Selain itu, keberadaan keempat Injil itu sudah diakui oleh Bapa-bapa Gereja yang hidup di abad-abad awal, seperti Papias, St. Hieronimus, St. Irenaeus, Origenes dan Eusabeus. Mereka hidup antara tahun 150 – 250. Kesaksian mereka memberi peneguhan atas keaslian keempat Injil, yang berbeda dengan injil lainnya. Ini bisa terjadi karena Gereja tidak memusnahkan karya-karya lainnya yang bertentangan dengan keempat Injil. Dengan ini orang bisa menguji keasliannya dengan cara membandingkan dan dengan cara lainnya.
Jadi, keaslian Injil tidak ditentukan oleh selera atau ada-tidaknya aksi demo yang bisa berujung pada tindak anarkis. Keaslian Injil ditentukan oleh naskah lain sebagai pembanding. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah tahun penulisan. Seorang sejarahwan, ketika hendak menulis sebuah naskah sejarah, ia akan mencari sumber buku yang tahun penulisannya mendekati peristiwa sejarah yang akan ditulisnya.
Kenapa umat kristen diam saja? Mungkin orang kristen sudah bisa membedakan mana yang asli dan tidak. Atau mungkin karena tidak ada pendasaran dalam Injil untuk marah atau melakukan tindak kekerasan demi membela kebenaran. Bukankah Injil memerintahkan umat kristen untuk berlaku kasih, bahkan kepada mereka yang menghina, mencela, memfitnah atau memusuhi.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa cara pandang orang islam dan kristen tentang keotentikan Kitab Sucinya berbeda. Bagi orang islam pembuktian kebenaran dan keaslian ditentukan dari tingkat kemarahan, demo dan tindak kekerasan. Sedangkan bagi orang kristen, keotentikan itu ditentukan dengan cara ilmiah. Masing-masing pihak tidak boleh memaksakan cara pandangnya kepada pihak lain. Hal itu ibarat jika sang ayah membeli topi dengan ukuran kepalanya, lalu memaksakan ke kepala anaknya. Jelas sangat tidak pas. Dan bukan lantas berarti kepala anak yang salah.
Jadi, jika umat islam memaksakan cara pandangnya soal Kitab Suci orang kristen, sudah tentu ia akan berkata bahwa Kitab Suci orang kristen sudah dipalsukan. Hal yang sama juga terjadi, jika umat kristen menggunakan cara pandangnya, maka ia berkesimpulan Al-Quran tidak asli. Namun, belum pernah terdengar orang kristen melakukan hal itu. Orang kristen hanya bisa memahami cara pandang orang islam, yaitu bahwa soal keotentikan Al-Quran ditentukan oleh kemarahan, demo dan tuntutan penjara. Karena itulah, demi amannya, orang lebih memilih diam saja.
Oleh karena itu, janganlah memaksakan cara pandang kita tentang keaslian Kitab Suci kita kepada Kitab Suci orang lain. Janganlah kita berkesimpulan bahwa Kitab Suci orang lain itu salah atau palsu jika ia tidak sesuai dengan cara pandang kita.
Bandung, 1 Des ‘13
by: adrian


Baca juga:

2 komentar:

  1. Pernah lihat orang Kristen marah dan bakar mesjid?
    Lihatlah Papua,Ambon, Minahasa Utara, dan new Zealand.
    Anda telah membohongi diri anda sendiri.🤣🤣🤣🤣🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas tanggapannya,sekalipun tanggapan Anda sama sekali tidak menjawab persoalan di atas. Jauh dari konteks tulisan. Dimana letak kebohongan saya?

      Ini bukan soal pernah marah atau tidak. Dalam tulisan di atas kemarahan dijadikan tolok ukur keaslian sebuah tulisan. Ini sebuah kekonyolan berpikir.

      Hapus