Selasa, 04 November 2014

Sejarah Konfrensi Waligereja Indonesia

90 TAHUN PERJALANAN SEJARAH KWI
Dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 3b, yang diterbitkan oleh Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia dan dicetak oleh Percetakan Arnoldus Ende-Flores, 1974, Dr. M.P.M. Muskens Pr menulis tentang “Setengah Abad Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) 1924-1974” (halaman 1431-1524).

Berdasarkan data dan tanggal yang tercantum dalam buku tersebut, maka diambillah sebagai pijakan penentuan tanggal dan tahun kelahiran MAWI (yang sekarang menjadi KWI). Merunut tahun sidang pertama para Waligereja, yaitu tanggal 15-16 Mei 1924 di Jakarta, maka tahun itulah disebut sebagai awal berdirinya MAWI yang hingga tahun 2014 ini genap berusia 90 tahun.

Paparan singkat sejarah MAWI-KWI berikut ini lebih untuk menggambarkan perkembangan tahun-tahun persidangan dan beberapa isu pokok yang dibahas, yang dengan sendirinya membentuk sejarah Gereja Katolik Indonesia hingga saat ini. Periodisasi yang terurai di dalam sejarah ini bukan masa yang baku, tetapi sekedar untuk memperlihatkan masa seiring dengan peristiwa dinamis sejarah bangsa Indonesia guna memudahkan untuk mengingat-ingat saja. Semoga catatan yang merupakan ringkasan dan beberapa cuplikan sejarah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Periode Sebelum Kemerdekaan RI (1924-1945)
Tahun 1913 lahirlah Nadere Regeling yang berisi pengakuan oleh Pemerintah Belanda terhadap semua Vikaris Apostolik dan semua Prefek Apostolik sebagai kepala/pemimpin jemaat Katolik di dalam wilayah Vikariat dan Prefektur masing-masing di Nusantara ini. Pengakuan itu merupakan hasil perundingan antara Internunsius dengan Menteri Urusan Koloni Pemerintah Belanda yang dilakukan di Den Haag.

Setelah keluar pengakuan itu, semua Vikaris dan Prefek Apostolik merasa perlu untuk berunding bersama guna mencapai kesatuan sikap terhadap Pemerintah dalam banyak persoalan, terutama tentang kebebasan bagi misi untuk memasuki semua wilayah dan juga berhubungan dengan pendidikan Katolik.

Cita-cita itu baru terwujud beberapa tahun kemudian dengan memanfaatkan momentum penahbisan Uskup Mgr. A. van Velsen SJ, yang oleh Paus diangkat menjadi Vikaris Apostolik Jakarta menggantikan Mgr. Luypen yang meninggal 1 Mei 1923. Peristiwa penahbisan pada tanggal 13 Mei 1924 digunakan oleh para Waligereja waktu itu untuk berkumpul dan meneruskannya dengan sidang pertama yang diselenggarakan tanggal 15-16 Mei 1924 di pastoran Katedral Jakarta. Sidang pertama ini diketuai oleh Mgr. A. van Velsen SJ. Itulah cikal bakal tanggal dan tahun yang hingga sekarang dijadikan rujukan untuk berdirinya MAWI-KWI.

Beberapa persoalan pokok yang menjadi bahasan dalam sidang pertama itu dapat diringkas sebagai berikut: penentuan sikap Gereja terhadap politik Pemerintah dan soal-soal Gereja yang meliputi persoalan sekitar imam-imam dan pendidikan imam, pengajaran agama dan penyebarluasan semangat Katolik, serta perwakilan sekretariat tetap para Waligereja di Jakarta.

Sidang kedua berlangsung tanggal 1- 8 September 1925 di pastoran Katedral Jakarta dipimpin oleh Mgr. B.Y. Gijlswijk. Selain membahas masalah keuangan sebagai unsur penting penopang karya misi yang akan dimintakan ke Roma, sidang berbicara juga tentang masalah penyebaran iman yang diyakini memerlukan kesediaan para imam untuk terus menerus menyelaraskan pewartaannya dengan tradisi dan kesenian setempat. Guna menopang pewartaan iman ini dirasa perlu menyusun katekismus Katolik yang disesuaikan. Masalah pendidikan imam dibicarakan semakin intensif, di samping masalah ko-edukasi di sekolah-sekolah Katolik. Pada sidang ini juga dibicarakan tentang organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan Katolik serta disepakatinya waktu sidang Waligereja selanjutnya sekurang-kurangnya lima tahun sekali untuk semua Waligereja.

Sidang ketiga, keempat, dan kelima diselenggarakan masing-masing pada tanggal 4-11 Juni 1929 di Muntilan (Jawa Tengah), tanggal 19-27 September 1934 di Girisonta (Jawa Tengah) dan tanggal 16-22 Agustus 1939 juga di Girisonta. Dalam tiga periode persidangan itu dibicarakan secara sangat intensif pokok-pokok persoalan yang menyangkut masalah hubungan Gereja dan Negara, pendidikan dan katekese, Undang-undang Perkawinan, pers dan radio, organisasi-organisasi sosial Katolik, kolonisasi Pulau Laut dan Rawaseneng, Gereja pribumi dan pengurus dana papa, upacara-upacara Tionghoa, pendidikan calon-calon imam, penyesuaian kesenian, dan status Gereja di Nusantara adalah Gereja Misi.

Periode sesudah Kemerdekaan RI hingga akhir ORLA (1945-1965)
Sidang para Waligereja pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan diselenggarakan di Bruderan Jalan Raya Dr. Sutomo, Surabaya, pada tanggal 25 Oktober sampai 2 November 1955. Walaupun pada sidang tahun 1925 sudah disepakati untuk menyelenggarakan sidang semua Waligereja tiap lima tahun sekali dan pada sidang tahun 1939 diputuskan bahwa lima tahun kemudian akan dilaksanakan sidang, namun karena kondisi politik yang tidak menentu maka sidang tidak terjadi. Tahun 1942-1945 Indonesia diduduki Jepang. Antara 1945-1949 situasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh revolusi dan penyerahan kedaulatan. Baru sesudah hapusnya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 17 Agustus 1950 keadaan menjadi kian normal kembali, kendati masih ada persoalan Irian Barat yang menyulitkan bagi kehidupan Gereja.

Keputusan terpenting dalam sidang tahun 1955 ini adalah dibentuknya beberapa Panitia tetap dan bahwa di samping sidang lengkap semua Waligereja didirikan suatu Dewan kecil yang tetap, yang disebut DEWAN WALIGEREJA PUSAT (DEWAP). Dan dalam sidang Waligereja tahun ini pula disepakati nama baru: Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI). Selain pembentukan DEWAP, keputusan lain yang penting yaitu mendukung adanya Partai Katolik dan pengakuan resmi terhadap Organisasi Pemuda Katolik Pandu Putera, pengembangan panitia pers dan propaganda, masalah pendidikan seminari, keputusan penerjemahan dan penerbitan Kitab Suci Perjanjian Lama secara bertahap (jilid demi jilid), penerjemahan Rituale Romanum dan dikeluarkannya sebuah surat edaran mengenai soal-soal di bidang politik, sosial dan kebudayaan di Asia untuk mendukung resolusi-resolusi dari Pan-Pasific Action Conference yang baru diselenggarakan di Melbourne.

Sidang MAWI berikut adalah tanggal 9-16 Mei 1960 di Girisonta (Jawa Tengah). Sebelum sidang ini, DEWAP menyelenggarakan rapat sebanyak dua kali, yaitu 5-9 November 1956 dan tanggal 25-28 Mei 1959, keduanya di Girisonta. Pada sidang ini dibahas masalah-masalah penting seputar kesatuan dalam Gereja (sensus catholicus), tentang semangat nasionalisme, pentingnya pengadaan Katekismus Indonesia dan penyediaan buku-buku pelajaran agama Katolik yang pembuatannya diserahkan kepada Kateketis Sentrum, pemeliharaan rohani tentara, dan dalam bidang liturgi ditegaskan pentingnya pendidikan liturgi bagi umat.

Tanggal 3 Januari 1961 Sri Paus Yohanes XXIII mengeluarkan sebuah dekrit “Quod Christus Adorandus” yang menjadi tanda resmi berdirinya hirarki di Indonesia. Dalam suratnya tertanggal 20 Maret 1961 yang ditujukan kepada para Waligereja se-Indonesia, Paus Yohanes XXIII menekankan pentingnya peristiwa bersejarah yang besar ini ditulis dengan huruf-huruf emas dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia. Paus mengajak umat Katolik Indonesia meneladan Fransiskus Xaverius. Juga diingatkan bahwa sekalipun hirarki sudah berdiri, hal itu tidak berarti bahwa misionaris-misionaris asing tidak diperlukan lagi. Para misionaris asing tetap harus menyumbangkan pengabdiannya kepada Gereja Indonesia di pelbagai bidang.

Sidang para Waligereja selanjutnya terlaksana di sela-sela penyelenggaraan Konsili Vatikan II (1962-1965). Selama berada di Roma, para Waligereja Indonesia menyelenggarakan rapat tersendiri. Pokok bahasan menyangkut hal-hal penting yang menjadi bahan bahasan dalam Konsili. Rapat-rapat para Waligereja Indonesia selama di Roma dilaksanakan di Feyor Unitas.

Rapat-rapat para Uskup Indonesia di Roma pada tahun 1962 diketuai oleh Mgr. A. Soegijapranata. Namun pada tanggal 22 Juli 1963 Mgr. A. Soegijapranata meninggal dunia di Steyl, Nederland, pada perjalanannya ke sidang kedua Konsili Vatikan. Rapat-rapat para Uskup Indonesia di Roma tahun 1963 diketuai oleh Mgr. A. Djajasepoetra (Uskup Agung Jakarta), sedangkan tahun 1964 dan 1965 diketuai oleh Mgr. Y. Darmojuwana (Uskup Agung Semarang yang baru). Selain membahas masalah-masalah yang memang menjadi fokus pembicaraan dalam Konsili Vatikan II, Uskup-uskup Indonesia dalam rapat-rapatnya juga berbicara masalah penting lain misalnya masalah pendidikan Katolik dan pendirian universitas Katolik.

Di samping rapat-rapat di Roma di sela-sela Konsili, MAWI juga menyelenggarakan sidangnya di Indonesia. Tanggal 25-30 Mei 1964 sidang MAWI dilaksanakan di Girisonta dan 20-28 Agustus 1965 juga di tempat yang sama.

Periode awal ORBA hingga Usia Emas (1966-1974)
Sidang MAWI tahun 1966 diselenggarakan di Girisonta tanggal 15-26 Oktober. Pada sidangnya kali ini, para Uskup memberikan resolusi (seruan) kepada kaum awam, organisasi-organisasi Katolik, dan para rohaniwan. Kepada kaum awam sidang mendorong agar awam Katolik terlibat dalam karya kemasyarakatan sehingga dapat membangun masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Gereja, sehingga kerasulan awam semakin nyata dan dirasakan terutama di bidang politik, sosial, ekonomi, dsb. Para awam dalam keterlibatannya di bidang-bidang itu tidak atas nama Gereja, tetapi atas nama organisasi atau atas nama perseorangan. Organisasi Katolik, khususnya Wanita Katolik dan Pemuda Katolik diharapkan bekerjasama dengan baik dan pertama-tama berjuang untuk kepentingan umum menurut norma-norma ajaran Gereja. Sedangkan kepada para rohaniwan diserukan agar memerankan diri sebagai moderator bagi organisasi-organisasi Katolik dengan tugas utamanya mendorong, menasehati, dan membantu, tidak sebaliknya menguasai, memimpin dan mengambil alih fungsi pengurus.

Romo YR Edy Purwanto adalah direktur kantor Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan sekretaris eksekutif  KWI
Diambil dari: http://indonesia.ucanews.com/2014/11/03/90-tahun-perjalanan-sejarah-konferensi-waligereja-indonesia-kwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar