Minggu, 06 Maret 2016

Sekilas tentang Perayaan Minggu Palma

MINGGU PALMA: DASAR, SEJARAH DAN MAKNANYA
Satu minggu menjelang Minggu Paskah, umat katolik memasuki Pekan Suci, yang diawali dengan perayaan Minggu Palma. Perayaan ini merupakan kenangan akan peristiwa Yesus memasuki kota Yerusalem sebelum Ia disalibkan. Keempat Injil menceritakan bahwa Yesus masuk kota Yerusalem itu diiringi dengan sorak-sorai. Banyak orang mengelu-elukan Dia sambil berteriak, “Hosana! Hosana!!” (Mat 21: 9; Mrk 11: 9 – 10; Yoh 12: 13)
Mungkin ada orang bertanya kenapa disebut Minggu Palma dan sejak kapan pengenangan peristiwa Yesus masuk ke kota Yerusalem masuk dalam liturgi Gereja.
Pendasaran Minggu Palma
Pertama-tama Gereja menetapkan perayaan itu pada hari Minggu. Dan karena mengenang peristiwa Yesus memasuki kota Yerusalem yang dielu-elukan oleh orang banyak dengan menggunakan daun palma, maka dikenallah dengan istilah Minggu Palma.
Penggunaan daun palma sebenarnya hanya merujuk pada Injil Yohanes (12: 13). Injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas) sama sekali tidak menyebut nama jenis daun yang digunakan orang banyak untuk melambai-lambai. Matius hanya menyebut “ranting-ranting dari pohon-pohon” (Mat 21: 8), sementara Markus menyebut “ranting-ranting hijau” (Mrk 11: 8). Lukas sama sekali tidak menyebut adanya ranting atau daun. Jadi, pendasaran daun palma pada Minggu Palma ada pada Injil Yohanes.
Mengingat tiga Injil tidak menyebut daun palma, apakah diperkenankan menggunakan daun lain selain daun palma dalam perayaan Minggu Palma?
Menurut Pastor Bernardus Boli Ujan SVD, pakar liturgi gereja, daun palma bukan satu-satunya yang diberkati dan dipakai dalam perarakan Minggu Palma. Umat dapat menggunakan daun pohon lain, misalnya janur kuning. Intinya, terbuka kemungkinan memakai daun lain, selain daun palma, asalkan memiliki kemiripan makna simbolisnya.
Sejarah Perayaan Minggu Palma
Sulit untuk mengetahui kapan persisnya perayaan Minggu Palma masuk ke dalam liturgi Gereja. Namun perarakan dengan daun palma dan zaitun pada hari Minggu Palma untuk mengenang peristiwa Yesus memasuki kota Yerusalem, sudah ada sejak abad IV.
Adalah Egeria, yang memberikan catatan pengalamannya saat berziarah ke kota Yerusalem pada sekitar abad IV. Kebetulan ia berada di sana pada hari Minggu Palma. Dia mencatat bahwa ada kebiasaan pada sore hari Minggu Palma, umat berkumpul di Bukit Zaitun, dan sekitar jam 5 sore di atas bukit itu mereka mendengarkan pemakluman Injil mengenai masuknya Yesus secara mulia ke Yerusalem. Setelah itu mereka berarak menuju pusat kota Yerusalem. Anak-anak juga ikut dalam perarakan sambil membawa ranting palma dan zaitun.
Cara perayaan seperti ini kemudian dibuat juga di beberapa tempat di Eropa. Pada abad V di Spanyol sudah ada tradisi penggunaan daun palma dalam liturgi, akan tetapi tidak ada prosesi. Di Perancis muncul tradisi perarakan daun palma pada abad VII. Sementara di Roma baru muncul sekitar abad XI.
Memahami Peristiwa Minggu Palma
Keempat Injil sama-sama menyatakan bahwa Yesus Kristus yang datang memasuki kota Yerusalem adalah sebagai Raja. Yohanes dan Lukas terang-terangan menyebut kata itu. Yohanes menyebut Yesus sebagai “Raja Israel” (Yoh 12: 13), sedangkan Lukas hanya menyebut “Raja” saja (Luk 19: 38). Matius dan Markus menyebut secara implisit. Markus menggunakan kata “Kerajaan bapak kita Daud” (Mrk 11: 10), dan Matius memakai kata “Anak Daud” (Mat 21: 15). Karena Daud dikenal sebagai Raja Israel, maka Yesus yang adalah putranya, merupakan putra raja.
Jadi, perarakan memasuki kota Yerusalem adalah perarakan seorang raja. Orang melihat perarakan itu merupakan perarakan kemenangan. Orang banyak begitu antusias menyambut Dia. Mereka mengelu-elukan, menghamparkan daun-daunnya serta pakaian mereka. Banyak orang yang menyambut-Nya berpikir bahwa Dia akan mengantar mereka menuju “Kerajaan Allah” yang telah mereka nantikan sejak lama.
Akan tetapi ada yang aneh dengan prosesi kemenangan ini. Pertama-tama, Yesus masuk dengan mengendarai seekor keledai, bukannya kuda sebagaimana lazimnya seorang raja. Kedua, tidak ada prajurit gagah perkasa yang menyertai Dia. Ketiga, tak lama sesudah peristiwa itu, atau malah di tengah-tengah peristiwa itu, Yesus sendiri malah menangis (Luk 19: 41). Terlihat jelas bahwa hal ini bukan sebuah tindakan umum yang dibuat seorang pemenang yang memasuki kota dengan suatu prosesi kemenangan.
Namun, “raja” ini bukan seperti seorang raja biasa. Ia sengaja menaiki seekor keledai untuk mengisyaratkan bahwa Ia datang dalam damai, bukan dengan hasrat untuk berperang. Di sini mau diperlihatkan posisi Yesus yang menantang otoritas Yerusalem (para imam, ahli Taurat dan kaum Farisi), tapi mereka tak perlu cemas akan adanya konfrontasi fisik. Memang ada beberapa murid menghendaki demikian. Yesus tidak dalam sikap bertempur secara fisik, baik melawan orang-orang Romawi maupun para aristokrat Bait Allah Yahudi. Karena itu, tak lama sesudah memasuki kota Yerusalem, Yesus kembali ke Betania pada malam hari (Mrk 11: 11; Mat 21: 17). Beberapa orang yang mudah sekali marah akan segera menunjukkan kekecewaannya. Hal ini dapat dilihat dari reaksi mereka saat pengadilan Yesus. Mereka begitu antusias berteriak, “Salibkanlah Dia! Salibkanlah Dia!” (Luk 23: 21; Mrk 15: 13, 14; bdk. Mat 27: 22, 23).
Ada beberapa hal dalam peristiwa Minggu Palma yang perlu dipahami. Pertama, soal keledai. Yesus memakai keledai dalam peristiwa itu untuk menggenapi nubuat Zakaria (Zak 9: 9 – 10). Dengan memilih keledai, Yesus ingin supaya orang tidak hanya melihat “kelemah-lembutan” pemerintahan-Nya, tetapi juga bahwa Dia adalah raja sejati atas Yerusalem dan atas dunia. Ini sungguh merupakan tindakan mesianis.
Lebih dalam makna hal ini bila kita memahami alam pikir Kitab Suci, bahwa “Raja Sion” yang sejati adalah Allah sendiri (perlu diketahui, Sion adalah sebutan lain dari Yerusalem). Kitab Mazmur menulis bahwa Yerusalem dipuji sebagai “Kota Allah” (Mzm 46: 4; 48: 1). Nabi Yesaya juga pernah menuliskan penglihatannya tentang hal ini (Yes 52: 7 – 8). Jadi, dapatlah dikatakan bahwa tindakan Yesus memasuki kota Yerusalem dengan keledai mengisyaratkan keallahan-Nya.
Kedua, daun palma. Secara apotropaik, daun palma memiliki fungsi “tolak bala”, untuk melindungi dan mencegah rumah, kebun, ternak dari gangguan roh-roh jahat. Tak heran banyak umat memanfaatkan daun palma yang sudah diberkati untuk fungsi tersebut. Mereka meletakkan daun itu di atas pintu rumah; malah ada yang di dalam mobil. Akan tetapi, secara biblis, daun palma dimaknai sebagai simbol kemenangan.
Daun palma sebagai lambang kemenangan dapat ditemui dalam Kitab Wahyu, “… memegang daun-daun palma di tangan mereka….” (Why 7: 9 – 10). Dapat juga dibandingkan dengan Kitab Imamat yang menyebut daun pohon kurma (Im 23: 40). Memang saat peristiwa itu terjadi, Yesus belum mendapatkan kemenangan. Peristiwa tersebut dilihat sebagai sebuah ramalan kemenangan yang akan diraih Yesus. Kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan atas dosa umat manusia dan kematian. Dengan kata lain, Yesus mendapatkan kemenangannya melalui kematian-Nya sendiri. Karena itu, peristiwa Minggu Palma dilihat sebagai peringatan akan kematian-Nya nanti. Hal ini mirip dengan tindakan Maria yang meminyaki Yesus dengan setengah kati minyak narwastu murni untuk mengingat hari penguburan Yesus (Yoh 12: 1 – 8; Mrk 14: 3 – 8).
Ketiga, hamparan pakaian dan ranting pohon di jalan. Para penginjil menceritakan bahwa selain mengelu-elukan Yesus dengan daun palma, orang banyak juga menghamparkan pakaian mereka di jalan bersama dengan ranting-ranting pohon. Tindakan menghamparkan pakaian dan ranting-ranting hijau mengandung makna harapan. Orang banyak berharap bahwa Yesus akan menjadi Mesias bangsa Israel yang membawa kemenangan dan pembebasan.
Harapan itu bukanlah harapan kosong. Mereka sudah melihat apa yang telah dilakukan Yesus sebelumnya (Yohanes mencatat peristiwa kebangkitan Lazarus mendahului peristiwa ini). Namun sayang, harapan mereka lebih bersifat politis. Mereka melihat Yesus sebagai mesias politik. Padahal bukan itu maksud Yesus.
Catatan Akhir
Bisa dikatakan bahwa perayaan Minggu Palma merupakan tradisi Gereja Perdana. Umat Katolik dewasa ini terpanggil untuk melestarikannya. Akan tetapi, merayakan Minggu Palma bukan sekedar tindakan pelestarian tradisi Gereja. Lebih dari itu umat diajak untuk kembali memaknai pesan dari peristiwa Yesus memasuki kota Yerusalem.
Mari kita memasuki pekan suci dengan melambaikan daun palma seraya berseru, “Hosana putera Daud. Diberkatilah Dia yang dating dalam nama Tuhan. Terpujilah di tempat yang mahatinggi.” Dengan merayakan Minggu Palma, kita diajak untuk masuk ke dalam kisah sengsara Yesus, karena kemenangan Yesus diperoleh melalui kematian.
Pangkalpinang, 30 Januari 2016
by: adrian
sumber:
Peter Walker, Menapak Jejak Mesias. (Yogya: Kanisius, 2010)
Pustaka Digital Kristiani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar