Kamis, 03 November 2016

KAUM REMAJA, JANGAN MAU MENIKAH DINI

Menikah adalah hak setiap orang, yang harus dihormati siapa pun. Akan tetapi, pernikahan dini (menikah diusia muda, di bawah 18 tahun) merupakan bentuk pelanggaran atas hak anak, khususnya anak perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.
Pada Januari hingga April 2011, Plan Indonesia (PI), organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, mengadakan penelitian tentang pernikahan dini. Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia, seperti Kabupaten Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT). Dari penelitian itu PI mencatat bahwa 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun. Ini berarti sekitar 10 juta anak perempuan terpaksa atau dipaksa menikah dini setiap tahunnya.
Memang hasil ini tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, namun temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di tanah air. Selain itu data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak.
Ada beberapa faktor penyebab kenapa orang memilih menikah di usia muda. Pertama, terbuai oleh indahnya masa pacaran. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam arti tertentu pacaran merupakan tahap awal menuju jenjang pernikahan. Banyak anak-anak remaja, ketika berpacaran merasakan romantisme hidup, senang dan bahagia, lantas berpikir bahwa romantisme itu akan mereka alami saat menikah. Padahal, hidup berumahtangga tidaklah seperti hidup pacaran. Romantisme pacaran tak selamanya bertahan.
Kedua, dari hasil penelitiannya, PI menyebut faktor yang mempengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki. Hal ini terkait dengan masa pacaran. Tak jarang pada masa pacaran, anak-anak melakukan hubungan suami-istri, yang berakibat pada kehamilan. Dan ketika hamil, maka menikah adalah solusinya. Inilah yang dikenal dengan gelar MBA, Marriage by accident.
Ketiga, faktor tradisi atau budaya. Ada beberapa daerah yang mempunyai tradisi menikahkan anaknya di usia muda. Faktor ini ditunjang juga oleh rendahnya tingkat pendidikan orangtua. Banyak orangtua beranggapan bahwa menikahkan anak perempuan secepatnya bisa membantu meringankan beban hidup mereka. Padahal pernikahan dini justru menambah masalah dan memperburuk masa depan anak, khususnya perempuan. Karena pernikahan dini membantasi ruang gerak anak dan hal lain yang seharusnya mereka lakukan.
Keempat, masalah kemiskinan. Kebanyakan pernikahan dini terjadi di daerah-daerah miskin, baik secara ekonomi maupun informasi. Tak sedikit keluarga-keluarga yang cepat menikahkan anaknya berpikir bahwa pernikahan dini merupakan solusi mengatasi beban ekonomi keluarga. Orangtua berpikir bahwa beban hidup anak perempuannya bukan lagi menjadi tanggungannya, melainkan keluarga baru. Tidak disadari bahwa tindakan ini justru melahirkan keluarga miskin yang baru. Ini ibarat lingkaran setan kemiskinan. Hal ini terjadi karena kurangnya informasi tentang perkembangan dunia sekitar.
Kelima, lemahnya penegakan hukum. Sebenarnya hukum memberi perlindungan kepada anak. Hukum melarang pernikahan anak usia muda. Akan tetapi, seperti yang sudah disebut di atas, rendahnya pendidikan orangtua dan faktor lainnya, membuat hukum tak berkutik. Biasanya hukum “kalah” ketika menghadapi argumen orangtua, “Yang menikah adalah anak saya, kenapa kalian sibuk?” dan sejumlah argumen lain.
Kelima faktor di atas inilah yang membuat banyak orang melakukan pernikahan dini. Dalam pernikahan dini seakan kaum perempuan tidak mempunyai pilihan hidup selain terpaksa atau dipaksa. Umumnya, baik orangtua maupun anak, sama sekali tidak melihat dampak buruk dari pernikahan dini.
Setidaknya PI menemukan ada 3 akibat buruk yang akan dialami oleh pasangan nikah muda. Ketiga akibat buruk itu adalah sebagai berikut.
1.     Rentan KDRT. Hasil temuan PI, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah. Hal ini terjadi karena yang menikah belumlah matang dalam pola pikir dan emosinya pun masih labil.
2.     Resiko Meninggal. Selain tingginya angka KDRT, pernikahan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar
3.     Terputusnya akses pendidikan. Di bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin
Demikianlah beberapa dampak buruk dari pernikahan usia muda. Tentulah setiap orang pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari dari hal-hal buruk. Semua orang suka akan hal-hal yang baik. Karena itu, sudah sepantasnya pernikahan dini ini dihindari. Ini menjadi tugas semua elemen masyarakat, mulai dari keluarga (terutama orangtua), Gereja hingga pemerintah.
Hukum Gereja memang membolehkan anak usia muda menikah. Kanon 1083 menetapkan usia nikah untuk pria 16 tahun, dan perempuan 14 tahun. Penetapan usia muda ini semata-mata dari sudut biologis saja, karena pada kanon 1072 para pastor diminta untuk menjauhkan kaum muda dari pernikahan dini. Dengan kata lain, Gereja menghendaki agar kaum remaja dan kaum muda katolik tidak terjebak dalam pernikahan usia muda.
Untuk itu, peran pastor-pastor paroki untuk membuat kebijakan yang dapat membantu umatnya menangani masalah ini. lewat kotbah dan katekese, para imam harus tanpa henti mensosialisasikan tentang bahaya pernikahan dini, harapan Gereja akan sebuah keluarga, tujuan pernikahan, dan lain sebagainya. Sosialisasi ini bukan hanya kepada kaum remaja dan kaum mudanya saja, melainkan juga kepada para orangtua. Banyak pernikahan dini terjadi karena paksaan orangtua.
Pangkalpinang, 1 Oktober 2016

by: adrian, dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar