Sabtu, 11 Juni 2016

Jangan Tutup Google dan Youtube

MENUTUP GOOGLE DAN YOUTUBE: NILA SETITIK RUSAK SUSU SEBELANGA
Beberapa hari yang lalu publik Indonesia dikejutkan dengan berita tuntutan kepada pemerintah Indonesia untuk menutup Google dan Youtube. Keterkejutan ini bukan hanya karena isi beritanya, melainkan juga sumber beritanya. Tuntutan penutupan Google dan Youtube berasal dari kalangan cendekiawan islam. Cendekiawan adalah orang yang menggunakan kecerdasan inteleknya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Jadi, mereka bukan orang bodoh tak berpendidikan, melainkan memiliki gelar sarjana, yang diperolehnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tuntutan para cendekiawan muslim (ICMI) terhadap layanan Google dan Youtube disuarakan karena melihat fenomena kejahatan seksual yang marak beberapa bulan terakhir ini. Para cendekiawan ini menyimpulkan bahwa penyebab semuanya ini adalah Google dan Youtube. Karena itu, keduanya harus ditutup.
Keputusan para cendekiawan muslim ini dirasakan terlalu berlebihan. Mereka seakan tidak bisa melihat ada sisi positif dari kedua layanan dunia maya ini. Menutup keduanya, hanya karena didasarkan satu sisi saja, berarti juga menutup segala kebaikan yang ada pada keduanya. Pada titik inilah banyak pihak menilai keputusan ICMI kurang bijaksana. Memang mereka pintar, tapi tidak bijaksana. Dari sini orang dapat mengetahui bahwa ternyata tidak semua orang pintar itu bijaksana.
Apakah mungkin menutup layanan Google dan Youtube? Semuanya serba mungkin. Jika dilihat dua dekade terakhir ini, ada beberapa negara yang mengambil kebijakan menutup Google dan Youtube. Negara-negara tersebut adalah negara-negara islam, seperti Negara Iran, Pakistan, Bangladesh dan Tajikistan, dan negara-negara komunis, seperti Negara China dan Korea Utara.
Akan tetapi, kita dapat memahami keputusan yang diambil kaum cendekiawan muslim tersebut. Keputusan itu lahir dari keputus-asaan dan kekalutan menghadapi fenomena kejahatan seksual yang marak akhir-akhir ini. Dan biasanya, dalam situasi kalut dan putus asa, siapapun akan sulit untuk berfikir jernih. Situasi kalut dan putus asa ini membuat ICMI mengambil sikap instan: membasmi tikus dengan cara membom lumbung padi. Padahal masih banyak cara lain untuk mengatasi masalah di atas.
Layanan Hot Line
Masalah pornografi dan kekerasan seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dua hal ini dapat dengan mudah dilihat oleh siapa saja dari segala lapisan, baik dalam lacar kaya televisi, dunia maya (internet) maupun dunia nyata. Anak-anak, dengan kemajuan teknologi dapat mengakses semua itu. Hal ini dipermudah dengan dukungan dari orangtua.
Jadi, dapat dikatakan bahwa orangtua turut terlibat dalam hal ini. Namun, supaya anak tidak terlibat, sekalipun mereka tetap bersentuhan dengan semua itu, maka peran pendampingan orangtua mutlak diperlukan. Para orangtua harus tidak henti-hentinya mendampingi dan membina supaya putera-puterinya sadar akan bahaya konten pornografi dan kekerasan bagi mereka.
Memang ada aplikasi pemblokiran konten pornografi yang dapat dipasang pada gadget atau komputer anak. Namun, jika lemahnya penyadaran dari orangtua, anak dapat mengakses hal tersebut di warnet-warnet yang begitu menjamur sekarang.
Tentulah, orangtua pun memiliki keterbatasan waktu dalam pendampingan itu. Oleh karena itu, pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, sudah berusaha untuk menutup konten-konten yang berbau pornografi dan kekerasan. Tidak seperti ICMI, di sini Kemenkominfo sangat bijaksana karena hanya menutup situs-situs yang negatif. Hal-hal yang negatif saja yang dihapus, sedangkan yang positif tetap dipelihara.
Akan tetapi perlu juga disadari bahwa Kemenkominfo pun mempunyai keterbatasan. Keterbatasan ini bisa saja terkait dengan waktu dan mental dari personal di Kemenkominfo yang menangani kasus konten pornografi dan kekerasan di dunia maya. Mungkin orang-orang di Kemenkominfo yang mengurusi masalah ini sedikit jumlahnya sementara ada begitu banyak situs yang menampilkan layanan pornografi dan kekerasan. Selain itu, ada falsafah “mati satu, tumbuh seribu” bagi situs-situs negatif ini, sehingga membuat orang-orang di Kemenkominfo harus bekerja ekstra keras. Jadi, mencari situsnya saja sudah membutuhkan tenaga dan waktu, sementara situs-situs ini terus menjamur.
Keterbatasan juga bisa terkait dengan mental orang-orang Kemenkominfo. Mental di sini seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”. Kebanyakan orang Indonesia, terlebih yang pegawai negeri, akan serius bekerja jika ada atasannya. Dengan kata lain, ada kemungkinan orang-orang di Kemenkominfo belum melihat masalah ini sebagai suatu masalah serius, sehingga pengawasannya terhadap situs-situs negatif ini pun menjadi lemah. Jangan-jangan mereka juga termasuk kelompok penikmat situs tersebut. Untuk itu, pemerintah harus terus menerus membenahi mental para pegawainya.
Di samping itu Kemenkominfo bisa menggunakan masyarakat untuk membantu mengatasi masalah ini. Caranya dengan membuka layanan 24 jam Hot Line Pengaduan. Jadi, semua warga Indonesia yang melek internet, dapat melaporkan situs-situs pornografi yang dia temukan kepada Kemenkominfo. Selanjutnya pihak Kemenkominfo akan menindaklanjuti dengan penutupan atau pemblokiran.
Namun, sebelum mensosialisasikan layanan Hot Line itu, terlebih dahulu Kemenkominfo terus menerus menyadarkan masyarakat akan bahaya konten pornografi dan kekerasan. Jika, hati masyarakat sudah tergerak, maka dengan sendirinya masyarakat akan melaporkan situs-situs pornografi yang dia temukan. Dengan demikian, orang-orang di Kemenkominfo tidak lagi perlu mencari-cari situs negatif itu, melainkan langsung menindaklanjuti pengaduan.
Pangkalpinang, 11 Juni 2016
by: adrian
Baca juga tulisan lain:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar